Dibawah ini ada sebuah tulisan menarik dari
Pak Awang H Satyana tentang Plume Tectonic dan keterdapatan Intan.
Banyak yang berpikiran bahwa Intan yang isinya Carbon merupakan
proses metamorfose dari batubara tingkat tinggi. Mengharapkan bahwa bila
mendapatkan antracite nantinya akan ketemu juga intan karena intan
merupakan proses kelanjutannya. Namun kenyataannya keterdapatan intan
berasosiasi dengan intrusive breccia. Atau dalam kehidupan sehari-hari
merupakan sebuah cerobong gunung api.
Bagaimana kisah keterdapatan intan ini ? Silahkan diresapi dibawah ini.
Plume Tectonic
(1) Plume tectonics sebagai mantle plume hypothesis telah dikemukakan
pertama kalinya oleh Wilson (1963 – A possible origin of the Hawaiian
islands: Can. J. Phys, 41, 863-870) dan Morgan (1971 – Convection
plumes in the lower mantle: Nature, 230, 42-43) saat
menjelaskan hotspot volcanoes seperti di Hawaii dan Iceland. Saat itu,
mantle plume didefinisikan sebagai massa ringan (buoyant) material
mantel yang naik karena keringanannya secara densitas (buoyancy). Saat
mencapai litosfer, dikenal yang namanya plume heads dengan
diameter 500–3000 km, dan plume tails yang diameternya 100–500 km yang
masuk jauh ke mantel atas. Pentingnya peranan mantle plume, terutama
superplume, dalam evolusi geodinamika Bumi, pertama kali diajukan oleh
Maruyama (1994 – Plume tectonics: J. Geol.
Soc. Jpn., 100, 24-49) yang menyebutnya sebagai plume tectonics theory.
Plume tectonics secara komprehensif dibahas dalam buku tulisan Condie
(2001 – Mantle Plumes and Their Record in Earth History, Camridge
University Press, Cambridge, 306 ps).
Model Pule Tectonic
Plume tectonics akan tetap dalam bentuk hipotesis kalau tidak dapat
sokongan seismic tomography. Seismic tomography adalah suatu teknik
untuk menentikan struktur 3-dimensi interior Bumi dengan cara
menggabungkan informasi dari sejumlah besar gelombang seismik yang
melintasi Bumi baik di permukaan maupun interiornya yang bersal dari
sumber-sumber seismik alamiah maupun buatan. Ada global tomography, ada
local/regional tomography; dan untuk plume tectonics, sumbangan global
tomography yang dipelopori oleh Dziewonski (1984 -Mapping the lower
mantle: determination of lateral heterogeneity in P velocity up to
degree and order 6: J. Geophys. Res., 89, 5929-5952) besar sekali.
Model2 plume tectonics dari berbagai peneliti tentu ada, misalnya:
(1) Grand et al. (1997 -Global seismic tomography: A snapshot of
convection in the Earth: GSA Today, 7, 1–7, (2)Anderson (2000 – The
thermal state of the upper mantle: No role for mantle plumes: Geophys.
Res. Lett., 27, 3623–3626), (3) Bijwaard et al. (1998- Closing the gap
between regional and global travel time tomography. J. Geophys. Res.,
103, 30055–30078), dan (4) Garnero (2000 - Heterogeneity of the
lowermost mantle. Annu. Rev. Earth Planet. Sci. 28, 509–537). Hubungan
dengan teori plate tectonics yang telah berkembang lebih dahulu pun
telah ada publikasinya, misalnya: Foulger (2003 – Plumes, or plate
tectonic processes? Astron. Geophys., 43, 6.19–6.23 atau Griffiths
& Richards (1989 – The adjustment of mantle plumes to changes in
plate motion: Geophys. Res. Lett., 16, 437–440.
Tentu tidak mudah memperoleh artikel-artikel di jurnal2 yang saya sebutkan di atas, tetapi melalui
amazone.com
kita bisa memperoleh dua buku paling tidak yang baik untuk mengetahui
lebih jauh soal plume tectonics, yaitu: (1) Condie (2001 – Mantle Plumes
and Their Record in Earth History, Camridge University Press,
Cambridge, 306 ps) dan (2) Yuen et al. (eds), 2007 – Superplumes: Beyond
Plate Tectonics, Springer, Dordrecht, 569 ps.
Untuk penerapan plume tectonics di Indonesia, pernah dibahas beberapa
kali, misalnya: Bijwaard, H., W. Spakman, and E. Engdahl (1998)
Closing the gap between regional and global travel time tomography. J.
Geophys. Res., 103, 30055–30078; Van derVoo, R.,W. Spakman, and H.
Bijwaard (1999b) Tethyan subducted slabs under India. Earth Planet. Sci.
Lett., 171, 7–20. Prof. Sri Widiyantoro, ITB, salah seorang anggota
milis yang saya tembuskan ini (Forum HAGI) adalah juga seorang ahli
mantle tomography dan banyak mempublikasikan mantle tomography bersama
koleganya, termasuk untuk Indonesia.
HotSpot
(2a) Hotspots tersebar tak teratur tetapi nonrandom di permukaan
Bumi. Mereka lebih banyak tersebar di dekat divergent plate boundaries
(mid-ocean ridges), dan biasanya menghilang dari wilayah2 di dekat
convergent plate boundaries/ subduction zones. Asal hotspots umumnya
dihubungkan ke mantle plumes (Wilson, 1963; Morgan, 1971), tetapi ada
juga yang berhubungan dengan intraplate volcanism oleh plate tectonic
processes (Anderson, 2000; Foulger, 2003). Hubungan antara hotspot dan
mantle plume terbaik ditunjukkan oleh Yellowstone. Yellowstone adalah
the best known continental hotspot. Beberapa studi teleseismic
tomography telah dilakukan untuk wilayah ini
(Evans, 1982; Saltzer and Humphreys, 1997; Schutt and Humphreys, 2004;
Yuan and Dueker, 2005). Hasil studi memperlihatkan 100-km diameter upper
mantle plume terlihat yang meluas dari Yellowstone volcanic
caldera sampai kedalaman 500 km. Mantle plume adalah lidah-lidah yang
mencuat ke atas dari suatu massa superplume, dan menerobos ke permukaan
sebagai hotspot.
(2b) LIPs -large igneous provinces. LIPs adalah wilayah-wilayah di
kerak Bumi yang memiliki sebaran batuan beku di luar kewajaran, begitu
luasnya. LIPs yang terkenal adalah Siberian Traps di wilayah Siberia,
Ontong Java Plateau di Samudra Pasifik utara Papua New Guinea, dan
Deccan Trap di India. Di Indonesia pun, kita punya LIPs dalam skala
lebih kecil : Radjabasa Basalt Plateau di Lampung dan Toba Ignimbrit
(welded tuff) di sekitar Danau Toba.
Para ahli batuan beku dan tektonik mempermasalahkan asal kejadian
LIPs ini, termasuk membahasnya sebagai antipode (titik seberang) dari
suatu titik benturan meteorit/komet besar di kerak Bumi dari seberang
yang lain. Saat meteorit/komet besar menghantam di satu titik di
permukaan Bumi, goncangannya akan menggetarkan seluruh mantel dan inti
Bumi, gelombang kejutnya diteruskan ke seberang bola Bumi yang lain,
termasuk membawa material mantel melalui mekanisme plume tectonics
sehingga terekstrusi ke permukaan di titik seberangnya. Mekanisme
antipodal igneous province ini pernah saya tulis di milis ini ketika
membahas asal Deccan Traps dan Siberian Traps. Siberian Traps adalah
pada antipodal position benturan meteorit Permian di Antarktika yang
beberapa bulan lalu ditemukan impact craternya oleh para ahli geologi
dan geofisika melalui survey gayaberat. Diyakini, bahwa benturan
meteorit Permian ini berhubungan dengan kepunahan massal flora dan fauna
di ujung Paleozoic -
sebuah kepunahan massal yang lebih besar daripada di ujung Kapur.
Tetapi sekarang, jurnal-jurnal geologi lebih banyak membahas suatu
mekanisme baru sebagai asal LIPs, yaitu delaminasi di batas kerak dan
mantel. Delaminasi adalah proses de-laminasi : tersobeknya urutan
lapisan (laminasi) oleh proses geologi. Dalam hal delaminasi
kerak-mantel, maka yang dimaksud adalah sobeknya/lepasnya lithospheric
mantle (batas litosfer-mantel) dari kerak benua di atasnya karena batas
litosfer-mantel ini lebih dingin dan lebih padat dibandingkan dengan
astenosfer di bawahnya. Kehilangan massa karena delaminasi ini akan
segera diikuti oleh kompensasi isostatik berupa pengangkatan, sehingga
terbentuklah Colorado Plateau misalnya dan semua gejala magmatik
ikutannya. Colorado Plateau ini adalah salah satu LIPs juga. Don
Anderson, seorang experimental petrologist dari Seismological Laboratory
Caltech, yang banyak publikasinya soal interior Bumi, dalam jurnal
“Elements” vol. 1 p. 271-275 (Desember 2005) menulis bahwa ketika kerak
benua terlalu tebal, bagian bawah kerak ini yang disusun oleh eklogit
akan terlepas (delaminasi), menyebabkan uplift, asthenospheric
upwelling, dan pressure-release melting. Proses delaminasi ini akan
menyebabkan segmen kerak bagian bawah yang punya titik lebur rendah
terintroduksi ke mantel; kemudian segmen ini terpanaskan, naik,
dekompres, dan lebur. Eklogit hasil delaminasi akan lebih panas dan
kurang padat dibandingkan dengan kerak samudra yang tertunjam di zone
subduksi. Bisa disimpulkan bahwa LIPs memang berhubungan dengan plume
tectonics, secara langsung sebagai massa buoyant superplume maupun
tidak langsung melalui delaminasi kerak-mantel.
(2c) lempeng-lempeng bergerak dengan dua cara: (1) push-ridge dan (2)
slab pull; sementara di bawahnya bersirkulasi mantle material melalui
sel-sel konveksi. Gerak push ridge terjadi di MOR sementara gerak
slab-pull terjadi di subduction zone. Dua gerakan utama ini memberikan
energi buat Wilson cycle berjalan. Mantle plume yang dibatasi dua sel
konveksi di MOR mau tak mau akan membawa mantle plume upwelling di MOR,
yang lalu kemudian akan segera diikuti push ridge dari material yang
telah jadi suite ofiolit. Maka upwelling mantle plume di spreading zone
secara tak langsung menggerakkan Wilson cycle.
Keterdapatan Intan di Kalimantan
Pipa keluarnya magma yang membentuk Intan Kimberlite
(3). plume tectonics dan pipa intan kimberlite: Kalimantan case.
Anthony Evans dalam bukunya, “An Introduction to Economic Geology and
Its Environmental Impact” (Blackwell Science, 1997) menulis kadar2
intan di pipa kimberlite/lamproite di seluruh dunia. Yang paling miskin
(kimberlit Lesotho : 0,309 karat/ton) – yang paling kaya (Argyle AK1
Lamproite di Australia Barat punya kadar intan 4 karat/ton). Bandingkan
dengan kadar intan Pamali intrusive breccia yang hanya 0,0035
karat/ton. Bagaimana intan Martapura bisa punya kadar 0,47 karat/ton ?
Rasanya, proses enrichment pun tak akan mendongkrak kadar sampai 134
kali bukan ? Lalu, dari mana asal intan Martapura ?
Melihat peta penyebaran intan di seluruh dunia (Evans, 1997), jelas
tergambar di situ bahwa deposit intan yang besar selalu berasosiasi
dengan daerah continental craton (> 1500 Ma old). Teori terbaru
sekarang tentang origin of diamonds adalah bahwa intan bukanlah hasil
kristalisasi magma di intrusi ultrabasa (akan in-situ), tetapi bahwa
intan adalah ex-situ, mereka adalah mineral2 di upper mantle yang
terbawa hot plume mantle yang sedang up-welling. Maka, intan bukanlah
fenokris, tetapi xenokris.
Mengherankan, sejak Koolhoven (1935) menulis laporannya tentang asal
intan Kalimantan (“Het Primaire Voorkomen van den Zuid-Borneo Diamant” –
Primary Occurrences of the South Kalimantan Diamond), riset tentang ini
tak mengalami kemajuan yang signifikan sampai saat ini pun.
Prof. Adjat Sudradjat, di dalam bukunya, “Teknologi dan Manajemen
Sumberdaya MIneral” (ITB, 1999) masih menulis bahwa asal intan
Kalimantan ini tak diketahui dari mana. Lima puluh tahun sebelumnya
(1949), van Bemmelen pun mengindikasikan hal yang sama. Memang,
Koolhoven (1935) menyebutkan bahwa a pipe of ultrabasic rock yang
disebutnya “Pamali intrusive breccia” adalah sumber intan di Kalimantan
Selatan. Tetapi, semua buku menuliskan bahwa kadar intan di breksi
Pamali (bukan Pemali seperti di Jawa Tengah ya..) sangat kecil, jauh di
bawah kadar intan yang ditemukan di endapan placer-nya. Kata Pak
Soetarjo Sigit dkk di bukunya “Mineral Deposits of Indonesia” (1962),
tidak ekonomis menambang intan di breksi Pamali itu.
Ini kadar2 intan di Kalimantan Selatan (van Bemmelen, 1949 vol IB) :
pipa ultrabasa breksi intrusif Pemali : 0,0035 karat/ton (1 karat intan =
0,20 g), enriched top soil Pamali : 0,035 karat/ton, diamond bearing
gravels placer deposits : 0,47 karat/ton. Nah, intan terbesar yang
pernah ditemukan di endapan plaser itu adalah yang ditemukan di desa
Cempaka, Kal Sel seberat 166 karat (33 gram). Cukup besar, hampir
sebanding dengan intan Kohinoor kepunyaan raja Lahore, India sebelum
dibelah (186 karat), tetapi jauh lebih kecil dibandingkan intan terbesar
yang pernah ditemukan di Afrika Selatan, intan Cullinan (3024 karat –
602 gram) yang kata buku Munaf (1956) – Ensiklopedia Indonesia
(termasuk ensiklopedia Indonesia pertama) dihadiahkan pemerintah AfSel
ke raja Inggris Edward VII.
Nah, benarkah Koolhoven bahwa breksi intrusif Pamali itu sumber
primer intan di Martapura ? Tidak tahu, sebab praktis tak ada riset ke
arah situ yang serius. Kalau melihat kadar2 intan antara placer
deposits di Martapura dan primary deposits di breksi Pamali itu, maka
diragukanlah kebenaran Koolhoven itu.
Koolhoven (1935) dan van Bemmelen (1949) menyebutkan bahwa breksi
intrusif Pamali itu adalah model kimberlitic pipe intrusive di Afrika
Selatan. Betulkah ? Kadar intan yang dilaporkan mereka tak mendukung
analogi ini.
Bagaimana hubungan antara intan dan craton bagus dipelajari dari
artikel Dante Canil (University of Victoria, British Columbia, Canada)
yang risetnya dalam 15 tahun terakhir berhubungan dengan mantle
listosphere, dalam ”GSA Today” vol. 18, no. 6, June 2008, hal. 4-10,
melaporkan kemajuan terbaru tentang pengetahuan ini.
Dalam artikel berjudul, “Canada’s craton : A bottoms-up view, Canil
menulis tentang bagian craton Canada di Archean Slave Province, Mackay
Lake, yang disusun polymetamorphic gneiss berumur sekitar 3300 juta
tahun. Craton ini diintrusi banyak sekali pipa kimberlit yang membawa
intan. Pipa kimberlit ini membawa xenolith peridotit dan sedikit eklogit
berasal dari akar craton di wilayah mantel.
Penelitian ini beraplikasi kepada eksplorasi intan pada pipa
kimberlit yang menembus craton, dan keberadaan intra-cratonic basin
yang bisa menjadi habitat hidrokarbon organik dan anorganik.
Craton didefinisikan sebagai bagian stabil lempeng benua yang tidak
lagi mengalami deformasi tektonik dalam waktu yang lama (milyaran tahun)
(Bleeker, 2003, the late Archean record : puzzle in ca. 35 pieces,
Lithos v. 71, p.99-134). Saat ini telah diidentifikasi sebanyak 35
segmen/provinsi kerak Bumi berumur Archean (> 2500 juta tahun,
berdasarkan skala waktu geologi terbaru dari Gradstein et al., 2004)
yang diidentifikasi sebagai craton.
Bagian massa litosfer terbesar dari suatu craton adalah bagian
litosfer yang terletak di bawah diskontinuitas M (Mohorovicic) yang
lazim disebut litosfer mantel. Kekuatan dan stabilitas jangka panjang
suatu craton bergantung kepada sifat litosfer mantelnya. Begitu
berpengaruhnya, sehingga sifat litosfer mantel ini akan menentukan asal
benua. Dalam hal ini, patut diperhatikan perbedaan definisi antara
berapa tebal kerak benua, posisi diskontinuitas M, tebal litosfer, dan
tebal astenosfer (agar tak membingungkan, pengertian dasar pembagian
kerak-mantel-inti harus dibedakan dengan
litosfer-astenosfer-mesosfer-inti).
Artikel Canil (2008) memberikan ringkasan tentang
faktor-faktor termal, petrologi, dan geologi untuk pehamaman evolusi
cratonic lithosphere (meliputi kerak benua maupun mantle lithosphere)
berdasarkan xenoliths yang dibawa pipa kimberlit yang mengintrusi
craton. Canada berpusat di suatu craton yang besar dan bagian
tersingkapnya merupakan singkapan kerak Archean terluas di dunia.
Kayanya pipa-pipa kimberlit yang membawa intan ke permukaan menjadikan
wilayah ini sebagai fokus utama riset eksplorasi intan selama 15 tahun
terakhir.Survey geofisika dalam proyek-proyek bernama DeepProbe,
Kaapvaal, dan sebagainya selama beberapa tahun terakhir dilakukan di
atas craton Canada. Tujuan survey ini adalah untuk mendapatkan
geophysical imaging litosfer di bawah craton. Penelitian geologi dan
geokimia atas singkapan batuan-batuan mantel berupa xenoliths yang
dibawa kimberlit seolah bagai jendela untuk masuk ke dalam mantel.
Gambaran craton dan litosfer mantel di bawahnya yang diperoleh dari
geophysical imaging dan sifat komposisi serta ciri termal bagian bawah
craton berdasarkan xenoliths, bila digabungkan akan memberikan gambaran
lebih utuh tentang craton dan evolusinya. Xenoliths ini umumnya berupa
peridotit. Maka disimpulkan bahwa mantle lithosphere adalah residu
leburan peridotit. Pada tekanan di bawah 3 Gpa (giga pascal) sistem ini
akan menghasilkan olivin.
Berdasarkan pemelajaran termal, diketahui bahwa struktur termal
bagian craton Canada di Slave Province mantle tak berubah secara
signifikan selama 500 juta tahun terakhir. Struktur termal yang tetap
ini kontras dengan struktur petrologinya yang bervariasi baik secara
lateral maupun vertikal diikuti dengan tingkat depletion-nya yang
berbeda-beda berdasarkan bukti garnet geochemistry. Variasi ini juga
sejajar dengan kejadian seismic anisotropy. Thermal steady-state ini
tidak diketahui apakah begitu juga untuk periode yang lebih tua,
misalnya pada ujung Archean (2500 juta tahun) saat Slave Province mulai
stabil. Indikasi dari paleogeothermal masih sulit untuk diduga-duga.
Untuk mengetahui umur cratonic mantle “roots” digunakan isotop Re-Os
(Renium-Osmium) dan isotop 187Osmium-188Osmium pada peridotit yang
dibawa pipa kimberlit dari mantle lithosphere. Hasilnya bervariasi dari
3500 juta tahun sampai 500 juta tahun. Disimpulkan bahwa mantle
lithosphere telah berperan dalam pembentukan craton pertama (3,5 Ga)
juga “pengakaran”-nya (cratonic mantle “rooting”) kembali pada periode
berikutnya (0,5 Ga).
Geophysical imaging menunjukkan bahwa di bawah craton Archean ini ada
tumpukan mantle lithosphere yang membentuk sistem “perakaran” bagi
craton. Berdasarkan bukti-bukti geologi dan geokronologi, diketahui
bahwa pembentukan tahap akhir dan amalgamasi mantle root ini terjadi
500-1000 juta tahun lebih kemudian daripada umur litosfer Archean yang
membentuk craton.
Demikian sedikit catatan dari artikel Canil (2008). Craton Canada
adalah craton yang paling banyak dipelajari di dunia. Banyak riset
tentang craton yang dilakukan di sini menjadi model untuk craton lain
di seluruh dunia (seperti craton-craton di Australia, Afrika, Asia,
Amerika).
Pengetahuan ini tidak hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan
geologi, tetapi juga telah bermanfaat untuk eksplorasi intan.
Geophysical imaging-nya dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi migas di
intra-crattonic basin, dan struktur termalnya dapat dimanfaatkan dalam
hal pengkajian pembentukan migas secara anorganik.
Nah, di Kalimantan kita punya craton kecil (Schwaner) yang disebut dan
disatukan dengan Laut Jawa sampai ke Malaya oleh Ian Metcalfe (1996)
menjadi SW Kalimantan craton. Dan di Kalimantan, intan tak hanya ada di
Martapura, tetapi juga di Purukcahu (KalTeng) dan Sanggau (KalBar).
Mengapa kita tak mencoba mengkaji origin of diamonds in Kalimantan
secara lebih serius ?
Tetapi secara ringkas boleh disebutkan bahwa belum ada bukti intrusi
pipa kimberlite ditemukan di Kalimantan. Pak Dr. Ade Kadarusman (INCO)
yang pernah mempelajari asal intan di Kalimantan pernah menulis (2005)
alternatif2 asal intan di Kalimantan sebagai berikut:
- Ultrahigh pressure (UHP) metamorphic origin;
source from Meratus Complex -Peridotitic origin (Pearson et al., 1995);
source from Bobaris peridotite (largely based on Koolhoven and van
Bemmelen description).
- Meteoritic origin; presence of textites and impact-crater like structure in north Martapura
- Kimberlite/lamproite origin (Bergman et al, 1987;1988; Spencer et al, 1988); source from the cratonic core of central Borneo (now eroded)
- Lamproite origin (Parkinson et al, 2000); source from rifted Australian fragment containing diamondiferous craton.
Adakah hubungan Petroleum System ?
(4) Tidak ada hubungan antara superplume atau plume yang mungkin ada
di bawah SE Sundaland dengan petroleum system Barito Basin yang
Tersier. Kaitan ke heatflow mungkin kalau dihubung2kan bisa saja,
tetapi harus dikaji lebih jauh. Mantle plume atau superplume mungkin
ada pengaruhnya ke rifting Selat Makassar pada saat Paleogen, tetapi
itu baru hipotesis spekulatif sebab mekanisme pembukaan Selat Makassar
bisa dicari dengan berbagai pendekatan, dan apa yang terjadi sebenarnya
bisa juga merupakan gabungan berbagai mekanisme (Satyana, 2003-
Accretion and Dispersion of Southeast Sundaland : the Growing and
Slivering of a Continent, Joint Convention of IAGI-HAGI; Satyana, 2010 –
Crustal Structures of the Eastern Sundaland’s Rifts, Central
Indonesia: Geophysical Constraints and Petroleum Implications, SEG-HAGI
Convention).
Src : BAGI
Eo : Ahmad Zaman Huri