Lontar Jatiswara di balai dusun adat kaki Gunung Rinjani
di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT
Gunung Rinjani Longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah2 rubuh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.
Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng (lenek), diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit.
Bersembunyi di Jeringo, semua mengungsi sisa kerabat raja, berkumpul mereka di situ, ada yang mengungsi ke Samulia, Borok, Bandar, Pepumba, dan Pasalun, Serowok, Piling, dan Ranggi, Sembalun, Pajang, dan Sapit.
Di Nangan dan Palemoran, batu besar dan gelundungan tanah, duri, dan batu menyan, batu apung dan pasir, batu sedimen granit, dan batu cangku, jatuh di tengah daratan, mereka mengungsi ke Brang batun.
Ada ke Pundung, Buak, Bakang, Tana’ Bea, Lembuak, Bebidas, sebagian ada mengungsi, ke bumi Kembang, Kekrang, Pengadangan dan Puka hate-hate lungguh, sebagian ada yang sampai, datang ke Langko, Pejanggik.
Semua mengungsi dengan ratunya, berlindung mereka di situ, di Lombok tempatnya diam, genap tujuh hari gempa itu, lalu membangun desa, di tempatnya masing-masing.
(Babad Lombok)
Lontar berisi hikayat para raja zaman dahulu dan Gunung Rinjani. Demikian beberapa bait Babad Lombok yang mengisahkan kengerian letusan Gunung Samalas di kompleks Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Selama bertahun-tahun, babad ini nyaris dilupakan dan mungkin dianggap sebagai dongeng belaka. Namun, penelitian sejumlah ahli gunung api baru-baru ini memastikan bahwa letusan Gunung Samalas sebagaimana digambarkan dalam babad itu ternyata fakta.
Bahkan, dampak dari letusan Gunung Samalas yang terjadi pada tahun 1257 itu melampui imajinasi penulis babad yang ditulis dalam daun lontar ini. Letusan Samalas berdampak global dan diduga memicu kelaparan dan kematian massal di Eropa setahun setelah letusan.
"Ditemukannya ribuan kerangka manusia di London yang dipastikan berasal dari tahun 1258 kemungkinan berkaitan erat dengan dampak global dari letusan Gunung Samalas pada tahun 1257," seperti ditulis dalam jurnal PNAS edisi akhir September 2013.
Tulisan di jurnal ini merupakan hasil penelitian 15 ahli gunung api dunia. Dari Indonesia yang terlibat adalah Indyo Pratomo, geolog dari Badan Geologi Bandung, Danang Sri Hadmoko dari Geografi Universitas Gadjah Mada dan Surono, mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Sedangkan dari luar negeri yang terlibat meliputi 12 ahli dari berbagai kampus ternama di Eropa, di antaranya Frank Lavigne dari Université Panthéon-Sorbonne, Jean-Philippe Degeai dari Université Montpellier, Clive Oppenheimer dari University of Cambridge, Inggris, dan sejumlah ahli lainnya.
Mereka awalnya melacak letusan Samalas ini dari jejak rempah vulkanik yang terdapat di lapisan es kutub utara. Sebagaimana letusan Tambora yang menciptakan tahun tanpa musim panas di Eropa sehingga menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan pada tahun 1816 atau setahun setelah letusan, letusan Samalas diduga juga memicu permasalahan serupa, bahkan mungkin lebih dahsyat.
OPEN CYCLE MAP Peta kawasan Gunung Rinjani di Lombok.
Rinjani merupakan bagian dari Gunung Samalas yang meletus hingga melumpuhkan dunia pada tahun 1257.
Superletusan mengakibatkan terbentuknya kaldera dan danau. Melumpuhkan dunia.
Surono mengatakan, kedahsyatan letusan Samalas dengan skala 7 sulit dibayangkan. "Letusan Merapi 2010 dengan skala 4 saja sudah bikin repot banyak orang. Skala 7 sama dengan sekitar 1.000 kali kekuatan letusan Merapi 2010 itu," katanya.
Menurut Surono, Gunung Samalas mempunyai kantung fluida (magma, gas, dan uap) yang sangat besar dan letusannya di masa lalu menimbulkan terbentuknya kawah raksasa Segara Anak. Di tepi kawah itu, kini muncul Gunung Baru Jari, yang terus tumbuh meninggi. Tahun 2012 lalu, Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas sempat mengarungi kaldera Segara Anak dan mendaki Baru Jari.
"Gunung Rinjani masa kini dengan Baru Jari, adalah terdekat dengan Samalas, untuk itu perlu dilakukan penelitian apakah Rinjani juga mempunyai volume kantung fluida yang sama dgn Samalas dan mempunyai jenis magma yang sama," katanya.
Bila mempunyai kesamaan maka ada kemungkinan Gunung Rinjani memiliki sifat-sifat yang sama dengan Samalas. "Kini kita hanya berharap Rinjani atau Baru Jari tidak meletus sedasyat Salamas. Namun alam tetap alam, mempunyai hukumnya sendiri," katanya. Apa yang terjadi dimasa lalu, sangat mungkin berulang kembali.
"Beberapa gunung api Indonesia seperti Tambora, Krakatau dan terakhir Samalas telah terbukti menghasilkan letusan dasyat, bukan saja merepotkan masyarakat di sekitarnya, tapi merepotkan masyarakat dunia. Di masa yang akan datang, bisa saja terjadi pengulangan," katanya.
Menurut Surono, jika letusan sedahsyat Samalas terjadi kembali di zaman modern seperti saat ini, transportasi udara di seluruh dunia bakal lumpuh. Paceklik bisa terjadi berkepanjangan.
"Kita tidak berharap hal itu terjadi. Namun kesiapan terhadap hal terburuk tetap harus dilakukan untuk menekan risiko bencana. Dengan tetap melakukan penelitian dan pemantauan agar dapat membuat skenario dan peringaatn akurat dalam mengurangi risiko bencana," katanya.
Surono mengajak kita harus mengikuti dan beradaptasi secara cerdas terhadap polah alam, karena tidak mungkin secara empiris perilaku alam itu diubah.
Editor : Ahmad Zaman Huri